Dasar Ilmu Hadits Dasar Ilmu Hadits | IMAM ABU MANSUR 14M Your SEO optimized title

Pages

 

15/03/12

Pin It

Dasar Ilmu Hadits

0 komentar

Istilah-Istilah dalam Jarhu wa Ta’dil

Feb 4, 2011   //   by Lidwa   //   Dasar Ilmu Hadits  //  Comments Off
  • Al jarhu wa ta’dil : Pernyataan adanya cela dan cacat, dan per-nyataan adanya “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus” pada seorang rawi hadits.
  • At Ta’dil : Pernyataan adanya “al-Adalah” pada diri se-orang rawi hadits.
  • Al Jarhu : Celaan yang dialamatkan pada rawi hadits yang dapat mengganggu (atau bahkan meng-hilangkan) bobot predikat “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus”, dari dirinya.
  • Tsiqah : Kredibel, di mana pada diri seorang rawi ter-kumpul sifat al-Adalah dan adh-Dhabt (hafalan yang bagus).
  • Rawi La Ba`sa Bihi : Rawi yang masuk dalam kategori tsiqah.
  • Jayyid : Baik
  • Layyin : Lemah.
  • Majhul : Rawi yang tidak diriwayatkan darinya kecua-li oleh seorang saja.
  • Mubham : Rawi yang tidak diketahui nama (identitas)nya.
  • Mudallis : Rawi yangi melakukan tadlis.
  • Rawi Mastur : Sama dengan Majhul al-Hal (Rawi yang tidak diketahui jati dirinya).
  • Perawi Matruk : Perawi yang dituduh berdusta, atau perawi yang banyak melakukan kekeliruan, sehingga periwayatanya bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah. Atau perawi yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi yang terkenal tsiqah.
  • Rawi Mudhtharib : Rawi yang menyampaikan riwayat secara tidak akurat, di mana riwayat yang disam-paikannya kepada rawi-rawi di bawahnya berbeda antara yang satu dengan lainnya, yang menyebabkan tidak dapat ditarjih; riwayat siapa yang mahfuzh (terjaga).
  • Rawi Mukhtalith : Rawi yang akalnya terganggu, yang menye-babkan hafalannya menjadi campur aduk dan ucapannya menjadi tidak teratur.
  • Rawi yang tidak dijadikan sebagai hujjah : Rawi yang haditsnya diriwayatkan dan ditulis tapi haditsnya tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil dan hujjah.
  • Saqith : Tidak berharga karena terlalu lemah (parahnya illat yang ada di dalamnya).
  • Tadh’if : Pernyataan bahwa hadits atau rawi bersang-kutan dha’if (lemah).
  • Tahqiq : Penelitian ilmiah secara seksama tentang suatu hadits, sehingga mencapai kebenaran yang paling tepat.
  • Tahsin : Pernyataan bahwa hadits bersangkutan ada-lah hasan.
  • Ta’liq : Komentar, atau penjelasan terhadap suatu poto-ngan kalimat, atau derajat hadits dan sebagai-nya yang biasanya berbentuk cacatan kaki.
  • Takhrij : Mengeluarkan suatu hadits dari sumber-sum-bernya, berikut memberikan hukum atasnya; shahih atau dhaif.
  • Syahid : Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi suatu hadits, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari sahabat yang berbeda.
  • Syawahid : Hadits-hadits pendukung, jamak dari kata syahid. Haditsnya layak dalam kapasitas syawahid, artinya, dapat diterima apabila ada hadits lain yang memperkuatnya, atau sebagai yang me-nguatkan hadits lain yang sederajat dengannya.
  • Mutaba’ah : Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi suatu hadits gharib, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari seorang sahabat yang sama.







Referensi Daftar Istilah:
  1. Taisir Mushthalah al-Hadits, Dr. Mahmud ath-Thahhan.
  2. Manhaj an-Naqd Fi Ulum al-Hadits, Dr. Nuruddin Ithir.
  3. Shahih targhib 2.

Hadits yang Tertolak

Feb 4, 2011   //   by Lidwa   //   Dasar Ilmu Hadits  //  Comments Off
Hadits yang Tertolak karena Gugur dari Sanadnya
Yang dimaksud dengan hadits yang tertolak karena gugur dari sanadnya adalah; terputusnya rantai sanad dengan gugurnya seorang perawi atau lebih baik disengaja oleh sebagian perawi atau tidak disengaja, gugurnya tersebut baik secara transparan maupun tersembunyi.
Yang masuk kategori hadits yang tertolak karena gugurnya perawi dari sanad adalah sebagai berikut:
  • Mu’allaq : (Hadits) yang sanadnya terbuang dari awal sanadnya, satu orang rawi atau lebih secara berturut-turut, bahkan sekalipun terbuang semuanya. Gambarannya adalah : semua sanad dibuang kemudian dikatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
  • Mursal : (Hadits) yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya, sebelum tabi’in. Gambarannya, adalah apabila seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, …” atau “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ini dan itu …”.
  • Mu’dlal : Hadits yang sanadnya ada dua orang rawi atau lebih yang gugur secara berturut-turut. Sedangkan I’dhal sendiri adalah terputusnya rangkaian sanad hadits, dua orang atau lebih secara berurutan.
  • Mungqati’ : Hadits yang di tengah sanadnya terdapat perawi yang gugur, satu orang atau lebih, secara tidak berurutan.
  • Mudallas :
    • Tadlis : Menyembunyikan cela (cacat) yang terdapat di dalam sanad hadits, dan membaguskannya secara zahir.
    • Tadlis at-Taswiyah ialah, seorang rawi meriwayatkan suatu hadits dari seorang rawi yang dha’if, yang menjadi perantara antara dua orang rawi yang tsiqah, di mana kedua orang yang tsiqah tersebut pernah bertemu (karena sempat hidup semasa), kemudian rawi (yang melakukan tadlis disebut mudallis) membuang atau menggugurkan rawi yang dha’if tersebut, dan menjadikan sanad hadits tersebut seakan antara dua orang yang tsiqah dan bersambung. Ini adalah jenis tadlis yang paling buruk.
  • Mu’an’an : perkataan seorang perawi : “fulan dari fulan”
  • ‘An’anah adalah Menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafazh عن (dari) yang mengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya. Ini menjadi illat suatu sanad hadits apabila digunakan oleh seorang rawi yang mudallis.
  • Mu`annan : perkataan seorang perawi : “telah menceritakan kepada kami fulan, bahwa fulan berkata”
Hadits yang tertolak karena terindikasi cacat atau tertuduh pada diri seorang rawi
Adapun hadits yang tertolak disebabkan adanya indikasi cacat atau tertuduh pada diri seorang rawi ada ada sepuluh macam, lima berkaitan dengan al adalah dan lima berkaitan dengan hafalan.
Adapun yang berkaitan dengan al ‘adalah sebagai berikut:
  1. Dusta / berbohong
  2. Tertuduh berbohong
  3. Fasik
  4. Bid’ah
  5. Jahalah (tidak diketahui)
Sedangkan yang berkaitan dengan hafalan sebagai berikut:
  1. Kesalahan yang parah
  2. Buruk hafalan
  3. Lalai
  4. Banyak terjadi kerancauan hafalan
  5. Menyelisihi orang-orang yang tsiqah
Akibat sebab-sebab diatas berkolerasi kepada kedudukan hadits. Disini kami coba untuk mengurutkannya satu persatu.
· AL MAUDHU’
(Hadits maudhu’/palsu)
Hadits maudhu’ ialah Hadits yang dipalsukan terhadap Nabi.
Hukumnya tertolak dan tidak boleh disebutkan kecuali disertakan keterangan kemaudhu’annya sebagai larangan darinya.
Metode membongkar kepalsuan hadits dengan cara sebagai berikut:
  1. Pengakuan orang yang membuat hadits maudhu’.
  2. Bertentangan dengan akal, seperti mengandung dua hal yang saling bertentangan dalam hal bersamaan,menetapkan keberadaan yang mustahil atau menghilangkan keberadaan yang wajib, dll.
  3. Bertentangan dengan pengetahuan agama yang sudah pasti, seperti menggugurkan rukun dari rukun-rukun Islam atau menghalalkan riba’, membatasi waktu terjadinya kiamat atau adanya nabi setelah nabi Muhammad.
Golongan pembuat hadits palsu
Orang-orang yang termasuk pembuat hadits palsu sangat banyak dan tokohnya yang masyhur adalah:
  1. Ishaq bin Najiih al Malathi.
  2. Ma’mun bin Ahmad al Harawi.
  3. Muhammad bin as Saaib al Kalbii.
  4. Al Mughirah bin Said al Kufi
  5. Muqathil bin Abi Sulaiman.
  6. Al Waqidi
  7. Ibnu Abi Yahya.
Sedangkan golongan pencipta hadits palsu diantaranya:
  1. Az-Zanadiqah (kaum zindik) ialah orang-orang yang berusaha merusak aqidah kaum muslimin, memberangus Islam dan merubah hukum-hukumnya. Seperti Muhammad bin Said al Mashlub yang dibunuh oleh Abu Ja’far al Manshur ia memalsukan hadits atas nama Anas secara marfu’.
    Aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelah aku, kecuali kalau Allah berkehendak.
    Dan seperti Abdul Karim bin Abu al Aujaa’ yang dibunuh oleh salah seorang amir Abasyiah di Bashrah dan dia berkata ketika hendak dibunuh:
    Aku telah palsukan kepadamu 4000 hadits, aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram.
    Dan ada yang berkata bahwa kaum zindik telah membuat hadits palsu terhadap Rasulullah sebanyak 14.000 hadits.
  2. Al-Mutazallif (pencari muka/penjilat) dihadapan para penguasa dan umara seperti: Ghiyats bin Ibrahim, dia pernah datang kepada al Mahdi yang sedang bermain dengan burung dara lalu ia menceritan kepadanya hadits Amirul Mu’minin ia bawakan sanadnya sekaligus ia palsukan hadits terhadap nabi bahwasanya beliau bersabda:
    “Tidak ada perlombaan atau permainan kecuali pada telapak kaki onta atau tombak atau telapak kaki kuda atau sayap (burung dara)”
    lalu al Mahdi berkata: Aku telah membebani dia atas itu (membuat Ghiyat bin Ibrahim berbuat dusta kepadaku untuk mencari muka. Pent). Kemudian dia (al Mahdi) menaruh burung dara tersebut dan menyuruh menyembelihnya.
  3. Al-Mutazallif dihadapan masyarakat dengan menyebutkan cerita-cerita yang aneh untuk targhib atau tarhib atau mencari harta atau kemuliaan (jah): seperti para pencerita (hikayat) yang berbicara dimasjid-masjid dan tempat-tempat keramaian dengan cerita-cerita yang memberikan kedahsyatan dari kisah-kisah yang aneh.
  4. Orang-orang yang terlalu bersemangat terhadap agama. Mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan-keutamaan Islam dan sarana yang menuju kepadanya dan hadits-hadits juhud terhadap dunia dengan tujuan agar manusia peduli terhadap agama dan juhud terhadap dunia. Seperti: Abu Ashamah Nuh bin Abi Maryam Qadhi Marwi, ia membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan surat-surat al quran, surat demi surat dan ia berkata: aku melihat manusia menjauhkan al quran dan sibuk terhadap fiqh Abu Hanifah dan Maghaazi bin Ishak oleh karena itu aku buat hadits palsu itu (keutamaan hadits palsu).
  5. Orang-orang yang ta’ashub terhadap mazhab atau jalan atau negeri atau yang diikuti (imam) atau kabilah mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan yang mereka ta’asubkan dan pujian terhadapnya. Seperti Maisarah bin Abdu Rabah yang mengaku telah membuat hadits palsu terhadap nabi r sebanyak 70 hadits tentang keutamaan Ali bin Abu Thalib.
· Al Matruk : Hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh sebagai pendusta.

· Al Munkar
: Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang dha’if dan riwayatnya bertentangan de-ngan riwayat para rawi yang tsiqah.
Perbedaan antara Syadz dengan munkar adalah; syadz diriwayatkan oleh seorang perawi yang maqbul sedangkan munkar diriwayatkan oleh seorang perawi dla’if.
· Al Mu’allal : Hadits yang ditemukan ‘illat di dalamnya yang membuat cacat keshahihan hadits tersebut, meskipun pada dzahirnya terlihat selamat.
· Al Mudraj : Hadits yang di dalamnya terdapat tambahan yang bukan darinya, baik dalam matan atau sanadnya. Sementara idraj sendiri itu bermakna tambahan (sisipan) pada matan atau sanad hadits, yang bukan darinya.
· Al Maqlub : mengganti satu lafadz dengan lafadz lain di dalam sanad sebuah hadits atau matannya, dengan cara mendahulukannya atau mengakhirkanya.
· Al Mudhtharib : Hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dalam berbagai versi riwayat yang berbeda-beda, yang tidak dapat ditarjih dan tidak mungkin dipertemukan antara satu de-ngan lainnya.
Mudhtharib (goncang).
· Asy Syadz : Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang pada hakikatnya kredibel, tetapi riwayatnya tersebut bertentangan dengan riwayat rawi yang lebih utama dan lebih kredibel dari diri-nya. Lawan dari syadz adalah rajih (yang lebih kuat) dan sering diistilahkan dengan mahfuzh (terjaga).
· Jahalah bi arruwwah : Tidak diketahui secara pasti, yang berkaitan dengan identitas dan jati diri seorang rawi.
Adapun klasifikasi majhul ada tiga, yaitu
Majhul al-’Adalah : Tidak diketahui kredibelitasnya.
Majhul al-’Ain : Tidak diketahui identitasnya. Yaitu rawi yang tidak dikenal menuntut ilmu dan tidak dikenal oleh para ulama, bahkan termasuk di dalamnya adalah perawi yang tidak dikenal memiliki hadits kecuali dari seorang perawi.
Majhul al-Hal : Tidak diketahui jati dirinya.
· Bid’ah : mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Adapun yang memiliki bukti dari syariat maka bukan bidah walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa. Bid’ah di golongkan menjadi dua golongan;
1. Bid’ah yang membuat kafir
2. Bid’ah yang membuat fasik
· Buruk hafalan : sisi salahnya lebih kuat ketimbang sisi benarnya dalam meriwayatkan sebuah hadits.

Pembagian Hadits Dilihat dari Sisi Kuat dan Lemahnya Hadits

Feb 4, 2011   //   by Lidwa   //   Dasar Ilmu Hadits  //  Comments Off
Pembagian hadits ahad dilihat dari sisi kuat dan lemahnya sebuah hadits terbagi menjadi dua, yaitu:
  1. Maqbul : sebuah hadits yang mempunyai indikasi kuat kejujuran orang yang membawa khabar tesebut
  2. Mardud (tertolak) : sebuah hadits yang tidak jelas kejujuran orang yang membawa khabar tersebut.
Secara garis besar hadits maqbul terbagi menjadi dua, yaitu shahih dan hasan, dan masing-masing kelompok ini terbagi lagi menjadi dua kelompok hadits, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi serta hasan lidzatihi dan hasan lighairihi.
Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Hadits Shahih : Hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki hafalan yang kuat dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula memiliki illat.
Sanadnya bersambung adalah: bahwa setiap perawi mengambil hadits secara langsung dari perawi yang berada diatasnya, kondisi seperti ini dari permulaan sanad sampai akhirnya.
Perawi yang adil adalah : bahwa semua perawinya mempuyai sifat ‘al ‘adalah,’ tidak fasik dan tidak mempunyai karakter yang tidak beretika.
Al ‘adalah adalah: Potensi (baik) yang dapat membawa pemilik-nya kepada takwa, dan (menyebabkannya mampu) menghindari hal-hal tercela dan se-gala hal yang dapat merusak nama baik dalam pandangan orang banyak. Predikat ini dapat diraih seseorang dengan syarat-syarat: Islam, baligh, berakal sehat, takwa, dan meninggalkan hal-hal yang merusak nama baik.
Memiliki hafalan yang kuat adalah; bahwa setiap perawi mempunyai hafalan yang kuat, baik hafalan yang ada di dalam dada maupun hafalan yang menggunakan bantuan buku.
Tidak syadz artinya : bahwasanya hadits tersebut tidak syadz (nyeleneh/menyelisihi yang lebih kuat).
Tidak memiliki ‘illat artinya : hadits tersebut tidak cacat. Dan ‘Illat adalah Sebab yang samar yang terdapat di dalam hadits yang dapat merusak keshahihannya.
Shahih Lidzatihi : hadits yang shahih berdasarkan persyaratan shahih yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Shahih Lighairihi : hadits yang hakikatnya adalah hasan, dan karena didukung oleh hadits hasan yang lain, maka dia menjadi Shahih Lighairihi.
Ash-Shahihain : Dua kitab shahih yaitu: Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Asy-Syaikhain : Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Hadits Hasan : Hadits yang sanadnya bersambung, yang diri-wayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki hafalan yang sedang-sedang saja (khafif adh-Dhabt) dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula me-miliki illat.
Hasan Lidzatihi : hadits yang hasan berdasarkan persyaratan hasan yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Hasan Lighairihi : hadits yang hakikatnya adalah dla’if, dan karena didukung oleh hadits dla’if yang lain, maka dia menjadi hasan Lighairihi.
Sedangkan hadits yang tertolak adalah hadits yang tidak jelas kejujuran orang yang membawa khabar tersebut. Itu bisa terjadi karena ketiadaan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat sebuah hadits.
Sebab-sebab tertolaknya hadits itu ada banyak, tetapi secara garis besar bisa di klasifikasikan menjadi dua, yaitu :
  1. Gugur dari sanad
  2. Terindikasi cacat atau tertuduh pada seorang perawi.
Secara keumumam semua itu disebut dengan hadits dla’if.
Hadits Dha’if : Hadits yang tidak memenuhi syarat hadits maqbul (yang diterima dan dapat dijadikan hujjah), dengan hilangnya salah satu syarat-syaratnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal mengamalkan hadits dla’if. Adapun pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama adalah bahwasanya dianjurkan mengamalkannya dalam hal fadlailul a’mal, akan tetapi harus memenuhi tiga syarat sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu Hajar :
  1. Dla’ifnya tidak parah
  2. Menginduk di bawah ushul yang dapat dijadikan sebagai landasan amal
  3. Ketika mengamalkannya tidak meyakini keotentikan hadits tersebut.

Pembagian Khabar

Feb 4, 2011   //   by Lidwa   //   Dasar Ilmu Hadits  //  Comments Off
Pembagian khabar ditinjau kepada orang yang disandarkan.
Khabar (hadits)terbagi 3 bila ditinjau kepada orang yang disandarkan :
Marfu ialah: Hadits yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terbagi menjadi 2: Marfu sharih dan Marfu hukum.
Marfu sharih ialah: Hadits yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung baik perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat atau khuluqnya penciptaannya (akhlaknya).
Contoh perkataan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang berbuat amalan yang tidak ada dasar perintahnya dari kami maka ia tertolak”.
Contoh perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa apabila masuk rumahnya ia mulai dengan bersiwak (gosok gigi)”.
Contoh penetapan (taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Taqrir beliau terhadap jawaban seorang budak perempuan ketika beliau bertanya dimana Allah? dia menjawab: Di langit. Lalu Rasulallah mentaqrirkan terhadap yang demikian. Dan yang termasuk ini juga seluruh perkataan atau perbuatan sahabat yang Rasulallah ketahui tapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diam terhadapnya (tidak mengingkari) maka hukumnya marfu sharih dan termasuk taqrir.
Contoh sifat akhlaknya.
Adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling dermawan diantara manusia dan yang paling berani diantara manusia. Apa-apa yang beliau diminta beliau tidak pernah katakan jangan/tidak boleh dan beliau selalu berseri-seri, lembut perawakannya luwes dalam perkara jika ada dua pilihan melainkan beliau memiliki yang paling mudah kecuali kalau dosa maka beliaulah orang yang paling menjauhinya dibandingyang lain.

Contoh sifat dirinya:
Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang tidak tinggi dan tidak pendek (sedang) rambutnya sepundak, lebat menutupi dua telinganya, janggutnya rapih dan sedikit beruban.
Marfu hukum ialah: Sesuatu yang dihukumi marfu kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantaranya adalah:
  1. Perkataan shahabat apabila tidak bersumber dari pendapatnya (ra’yu) dan bukan tafsiran dan tidak dikenal sebagai orang yang mengambil cerita isra’iliyat.
    Contoh : Perkatan shahabat seperti khabar tentang tanda-tanda kiamat atau keadaan hari kiamat atau hari pembalasan(ini namanya marfu’ hukum).
    Jika bersumber dari pendapatnya (ra’yu) maka dinamakan mauquf. Dan jika berbentuk tafsir maka hukumnya sama dan tafsirnya dinamakan tafsir mauquf. Dan jika orangnya terkenal dengan seorang yang mengambil cerita isra’iliyat maka hukumnya tarraddud (saling bertolak belakang) antara khabar isra’iliyat atau hadits marfu’, maka tidak boleh diyakini sebagai hadits karena masih diragukan. Seperti Abadalah (orang yang namanya berawalan Abdul) seperti Abdullah bin Umar bin Khattab dan Abdullah bin Amru bin Al Ash, mereka adalah orang yang mengambil cerita-cerita isra’iliyat dari Ka’ab dan lainnya.
  2. Perbuatan shahabat apabila tidak bersumber dari pendapatnya, seperti shalat khusuf yang dilakukan Ali dengan ruku’ melebihi dari dua dalam satu raka’at.
  3. Sahabat menyandarkan sesuatu kepada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak disebutkan bahwasanya ia tahu hal itu seperti perkataan Asma’ binti Abu Bakar:
“Kami pernah menyembelih seekor kuda pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah lalu kami memakannya”.
  1. Shahabat berkata tentang sesuatu bahwasanya itu termasuk Sunnah seperti perkataan Ibnu mas’ud
“Termasuk sunnah tasyahhud dipelankan, maksudnya dalam shalat” .
Jika tabi’in yang berkata maka bisa marfu’ bisa mauquf, seperti perkataan Ubaidillah bin Abdullah bin Atabah bin Mas’ud.
“Yang sunnah,Imam berkhutbah pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha dua kali yang ia selingi dengan duduk”.
  1. Perkataan shahabat,
    seperti:
    “kami diperitahkan atau kami dilarang atau manusia diperintahkan atau yang semisalnya”
    seperti perkataan Ummu ‘Athiyah:
    “Kami diperintahkan agar kami mengajak keluar para perawan pada waktu shalat iedul fitri dan iedul adha”.
    Dan perkataannya:
    Kami dilarang (para wanita) mengiringi jenazah tetapi tidak dikeraskan larangannya terhadap kami.
    Dan perkataan Ibnu Abbas:
    Manusia diperintahkan agar mengakhiri waktu haji mereka di ka’bah.
    Dan perkatan Anas:
    Kami diberikan batas waktu mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan bulu kemaluan tidak lebih dari 40 malam.
  2. Shahabat menghukumi terhadap sesuatu bahwasanya itu maksiat seperti perkataan Abu Hurairah tentang orang yang keluar masjid setelah adzan:
    “Adapun orang ini telah mendurhaki Abul Qosim ( Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)”.
    Begitu pula kalau shahabat menghukumi terhadap sesuatu bahwasanya itu termasuk ketaatan atau mengatakan sesuatu itu bukan maksiat atau ketaatan karena yang demikian tidak mungkin dikatakan shahabat melainkan mereka mengetahui nashnya dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  3. Perkataan mereka (shahabat) dari shahabat dengan dimarfukan haditsnya atau riwayatnya seperti perkataan Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata:
    “Obat itu ada dalam tiga: Minum madu, jarum bekam dan besi panas (dibakar) dan umatku dilarang dengan besi panas”
    Dan perkataan Sa’id bin al Musayyab dari Abu Hurairah :
    “Fitrah itu lima atau lima dari fitrah: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong rambut dan mencukur kumis”.
    Dan begitu pula perkataan mereka dari shahabat dengan cara penyampaian hadits atau menerima hadits atau menyandarkan kepadanya dan yang sepertinya karena semua ibarat ini termasuk hukum marfu’ sharih walaupun tidak secara langsung dalam penyandaran kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi ada dugaan itu dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mauquf ialah : Hadits yang disandarkan kepada shahabat tetapi tidak ditetapkan baginya hukum marfu’.
Seperti perkatan Umar bin khatthab:

Islam hancur karena tergelincirnya seorang yang alim, jidalnya orang munafik dengan Al-Quran dan hukum para imam-imam yang sesat.

Maqthu’ ialah: Perkataan yang disandarkan kepada tabi’in dan orang yang setelahnya (tabiut tabiin).
Seperti perkataan Ibnu Sirin:

Sesungguhnya ilmu ini (sanad) adalah agama, maka lihatlah darimana kamu mengambil dien (sanad) mu ini.

Dan perkataan Malik:
Tinggalkanlah amalan-amalan yang tidak nampak selama tidak baik untukmu agar engkau kerjakan secara nampak.

Pembagian Hadits Menurut Jalan Periwayatannya yang sampai kepada kita

Feb 4, 2011   //   by Lidwa   //   Dasar Ilmu Hadits  //  Comments Off
Pertama: Hadits Mutawatir
Al Mutawatir ialah: Hadits yang diriwayatkan oleh sekumpulan orang yang mustahil mereka sepakat berdusta menurut adat dan mereka menyandarkannya kepada sesuatu yang nyata.
Al Mutawatir terbagi dua:
  1. Mutawatir lafadz dan makna.
  2. Mutawatir makna
Mutawatir lafadz dan makna ialah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi yang sama, baik lafadz atau maknanya.
Mutawatir makna ialah hadits yang telah diriwayatkan oleh para perawi yang sama secara makna saja dan tiap-tiap hadits mempunyai makna khusus.
Faidah hadits mutawatir terbagi dua yaitu:
  1. Ilmu artinya sudah dipastikan benar penasabannya kepada orang yang menukil darinya.
  2. ‘Amal artinya mengamalkan dari apa-apa yang terdapat didalamnya dengan membenarkan apabila ia berbentuk khabar (berita) dan merealisasikan apabila ia berbentuk tuntunan.
Kedua: Hadits Ahad
Hadits Ahad ialah lawan dari hadits mutawatir. Yaitu hadits yang sanadnya tidak mencapai derajat mutawatir.
Hadits Ahad terbagi 3 menurut jalan periwayatannya:
  1. Hadits Masyhur : Hadits yang memiliki jalan-jalan periwayatan yang terbatas, lebih dari dua jalan, dan tidak mencapai derajat mutawatir.
  2. Hadits Aziz : hadits yang diriwayatkan hanya oleh dua orang perawi saja.
  3. Hadits Gharib : Hadits yang diriwayatkan sendirian oleh se-orang rawi dalam salah satu periode rangkaian sanadnya.

Definisi Ilmu Hadits

Feb 4, 2011   //   by Lidwa   //   Dasar Ilmu Hadits  //  Comments Off
Mushthalahul Hadits adalah : ilmu tentang dasar dan kaidah untuk mengetahui keadaan seorang perawi dan yang diriwayatkannya dari segi diterima dan ditolaknya.
Objeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya.
Faidahnya membedakan antara hadits-hadits yang shahih dengan hadits-hadits yang sakit (cacat).
Al Hadits ialah Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat
Al Khabar ialah Pengertiannya sama dengan Al Hadits, dengan demikian ia didefinisikan sama seperti al Hadits. ada juga yang berpendapat Al Khabar sebagai berikut : Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang selainnya. Dengan demikian pengertiannya lebih umum dan luas.
Al Atsar, ialah Suatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in (generasi setelah sahabat). Terkadang Al Atsar dimaksudkan dengan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits) apabila dalam satu kalimat ia disertakan kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti perkataan : Dan dalam Atsar dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits Nabi).
Hadits Qudsi ialah: Hadits yang diriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya (Allah Subhaanahu wa Ta’ala). Hadits Qudsi dinamakan juga Hadits Rabbani dan Hadits Ilaahi. Kedudukan Hadits Qudsi diantara Al Qur’an dan Hadits Nabawi, tidaklah sama karena Al Qur’an disandarkan kepada Allah Ta’ala baik lafadz dan maknanya. Sedangkan Hadits Nabawi disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik lafadz dan ma’nanya dan Al Hadits Al Qudsi disandarkan kepada Allah Ta’ala secara ma’na tidak secara lafadznya dan karena itu tidak bernilai ibadah didalam membaca lafadznya dan tidak boleh dibaca didalam sholat, dan tidak dinukil secara mutawattir (keseluruhannya) sebagaimana penukilan Al Qur’an, akan tetapi sebagiannya ada yang shahih, dhaif, dan maudhu.
Sanad adalah : suatu jalan yang menyampaikan kepada matan atau suatu perantara yang menyampaikan kepada rawi Hadist.
Matan adalah : Suatu yang akan menyampaikan kepada sanad dari ucapan atau disebut juga redaksi hadist atau isi hadist
Al-Musnad : secara bahasa berarti yang disandarkan kepadanya. Sedangkan Al-Musnad menurut istilah ilmu hadits mempunyai beberapa arti :
  • Setiap buku yang berisi kumpulan riwayat setiap shahabat secara tersendiri.
  • Hadits yang sanadnya bersambung dari awal sampai akhir.
  • Yang dimaksud dengan Al-Musnad adalah sanad, maka dengan makna ini menjadi mashdar yang diawali dengan huruf mim (mashdar miimi).
Al-Musnid : orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik dia mempunyai pengetahuan terhadap hadits atau hanya sekedar meriwayatkan saja.
Al-Muhaddits adalah orang yang berkecimpung dengan ilmu hadits baik secara periwayatan maupun dirayah, menelaah berbagai riwayat serta keadaan para perawinya.
Al-Hafidh Menurut kebanyakan ahli hadits sepadan dengan Al-Muhaddits. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa Al-Hafidh derajatnya lebih tinggi dari Al-Muhaddits karena yang dia ketahui pada setiap thabaqah (tingkatan/kedudukan) lebih banyak daripada yang tidak dia ketahui.
Al Hujjah : Orang yang hapal tiga ratus ribu hadist beserta sanadnya.
Al-Hakim menurut sebagian ulama adalah orang yang menguasai semua hadits kecuali sebagian kecil yang tidak dia ketahui.
Ashhab As-Sunan : Para ulama penyusun kitab-kitab “Sunan” yaitu: Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

0 komentar:

Posting Komentar